Pages

Senin, 03 Februari 2014

TIARA



Waktu SMA saya pernah kehilangan satu sahabat. Dia teman saya waktu SMP. Teman sekelas, teman sebangku, teman mengantuk di kelas, teman menyontek, teman berbagi segala apa yang kami punya. Ayahnya begitu baik, saya pun sudah dekat dengan beliau. Kalau menginap di rumahnya sudah tidak canggung.Ibunya ramah luar biasa, begitupun Kakak perempuannya yang sudah menikah. Kemudian, ketika SMA kami berbeda sekolah. Saya melanjutkan SMA di sekolah yang masih satu yayasan dengan SMP saya, dan teman saya lebih memilih sekolah Vokasional.
Ada perasaan berat ketika kami berbeda sekolah karena tak biasa berjauhan. Ketika SMP, kami saling berbagi uang jajan, berbagi makanan kiriman orang tua masing-masing, atau apapun yang kami punya. Kemudian saya baru menyadari sekarang, bahwa teman-teman saya adalah keluarga bahkan lebih dari itu. Meskipun berbeda sekolah, kami tetap komunikasi, saling mengunjungi satu sama lain, kami masih saling curhat tentang cinta monyet. Iya, saya ingat dulu dia pernah bercerita tentang seseorang yang dia kenal di sekolah barunya. Saya lupa-lupa ingat namanya, yang pasti sosoknya sering diceritakan sahabat saya. Saya pun menceritaan seseorang yang mulai masuk di kehidupan saya, begitu emosional. Lucu sekali kalau diingat. Kenangan paling menggelikan. Lelaki pertama, tapi bukan cinta pertama karena memang tidak begitu berkesan.
Sahabat saya ini namanya Lia.
Sampai suatu hari, saya bersama dua sahabat saya yang lain, Tiara dan Riga berencana berlibur, atau sering kami sebut ‘ngabolang’ ke rumah teman saya yang berada di daerah Kidul yang tempatnya agak jauh untuk dijangkau. Kami mengajak Lia untuk ikut serta bersama kami. Tapi, sayangnya Lia sedang sakit. Kami sempat bergurau dan meragukan apakah Lia benar-benar sakit, sampai kami bertanya “Ah, sakit apa sih? Paling juga pusing. Ayo, ikut saja!” begitu isi sms yang kami kirimkan pada Lia.
Dua hari kami berlibur di tempat teman. Asik sekali, meskipun minus Lia, karena kami tahu ternyata Kakak laki-laki teman kami ini punya hubungan dengan teman saya, Riga. Kami pun pulang kembali ke rumah masing-masing. Tak disangka, ternyata Lia belum sembuh dari sakitnya dan yang lebih mengejutkan ternyata Lia masuk Rumah Sakit. Kami melihat Lia terbaring tidur di atas ranjang Rumah Sakit dengan selang oksigen, tak bisa membuka mata, sekedar bicara pun sulit, tubuhnya ringkih dan sangat lemah. Kami sempat menyesal mengapa punya sangkaan yang kami bilang begitu usil. Lia benar-benar sakit. Dia divonis Meningitis. Ditambah jarang makan nasi dan hobinya makan pedas yang berlebihan. Saya ingin marah, karena ada sahabat saya yang lain sakit karena doyan makan pedas. Kenapa Lia tidak belajar dari dia.
Sampai beberapa hari kemudian, saya mendengar bahwa Lia meninggal. Rasanya tidak karuan. Entah kenapa saya tidak ikut ke pemakaman. Entah terpukul atau apa. Yang pasti saya begitu kehilangan, karena pertama kali kehilangan sahabat. Selamat jalan Lia, kami mendoakan dari sini. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Sesunggungguhnya segala sesuatu akan berpulang pada Rabb.
Cerita belum usai. Lulus SMA, saya dan Riga melanjutkan kuliah di daerah kami sedangkan sahabat saya yang lain, Tiara memutuskan mengambil pendidikan di Lampung karena mendapat beasiswa disana. Kami kehilangan lagi, tapi kami sering menyempatkan untuk bertemu. Entah itu untuk nonton atau makan-makan.
Menginjak tahun ke-2 kuliah, Tiara pulang dari Lampung karena sakit. Bukan kepalang, Tiara terkena Tumor di payudara. Saya tidak tahu apakah ini tumor jinak atau ganas. Yang pasti penyakitnya terdeteksi sebagai radang awalnya. Segala macam pengobatan dilakukan Tiara, mulai dari alternatif sampai medis. Kemana-mana Tiara berobat tapi hasilnya tak memuaskan. Kemudian diambil keputusan, bahwa Tiara harus dioperasi. Sayang, operasi tak berjalan mulus karena banyak darah yang keluar. Sampai suatu hari, baru diketahui ternyata Tiara salah diagnosa. Tiara tidak mengidap tumor di payudara sama sekali, ternyata Tiara mengidap kanker pembuluh darah. Teman-teman marah dan agak geram mengingat kalau hal seperti ini mungkin bisa disebut malpraktik. Tapi, keluarga Tiara tak membawa masalah ini ke ranah hukum. Saya begitu ingat wajah ibunya yang ramah luar biasa begitu sabar menemani Tiara. Tapi, sahabat saya ini perempuan kuat. Tak pernah terdengar dia mengeluh ketika kami jenguk. Kami tertawa lepas sepanjang hari dan tak mau membahas penyakit yang mungkin bisa merenggut masa depan. Sampai saat ini Tiara masih berjuang melawan penyakitnya. Tiara kuat. Tiara tak boleh menyerah. Kamu punya sahabat yang sayang dan siap kalau dibutuhkan. Insya Allah. We love ya, Tiara...


 

0 komentar:

Posting Komentar