Ini tulisan pertama saya tentang
pengalaman bagaimana menjadi seorang Guru Muda. Tak mudah menjalani amanah
sebagai guru di usia muda, ketika mental masih labil, dan hasrat ingin bermain
masih membuncah. Pertama kali saya diamanahi sebagai seorang guru, plus menjadi
wali kelas satu SMP. Itu rasanya seperti tidak karuan, apalagi ditambah
keinginan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bangku kuliah.
Sebelumnya, saya adalah lulusan salah satu SMA yang kemudian diberi amanah oleh
Kepala Sekolah untuk mengabdi bersama beberapa teman lainnya. Mungkin ada
sekitar 15 orang yang terpanggil oleh Kepsek untuk menjalankan amanh ini. Tapi,
empat teman saya kemudian mengundurkan diri, karena akan melanjutkan kuliah.
Saya pun pernah berpikiran seperti itu, namun setelah berkonsultasi dengan
orang tua, saya agak mulai menyadari bahwa amanat dari guru kita sendiri harus
dijalankan, terlebih doa dari seorang guru begitu mustajab. Kemudian
niat untuk mundur pun pudar, meskipun ada gejolak yang membuat saya selalu
ingin keluar.
Mulailah saya menjadi guru pada
tahun 2010. Saya mulai menghadapi masalah-masalah dari para murid yang memang
kebanyakan manja, terkadang saya pun stress. Ada perasaan bahwa saya tidak
mampu menjalani aktivitas seperti ini. Mulai dari mengurus murid-murid yang
nakal, manja, dsb. Lalu tiba-tiba kabar yang bagi saya itu adalah buruk datang.
Perlu diketahui, asalnya masa pengabdian pada sekolah adalah satu tahun, namun
ada pemberitahuan bahwa guru pengabdian harus menjalani kuliah yang otomatis membuat
saya lebih lama mengabdikan diri, minimal selama 4 tahun, dan jurusan kuliah
pun dipilih oleh sekolah. Disana saya makin stress, apalagi melihat teman-teman
saya di luar yang bebas memilih jurusan mereka sendiri. Kebetulan saya
menginginkan jurusan Sastra Inggris. Meskipun saya mengajar Bahasa Inggris,
tapi saya memimpikan menjadi mahasiswa dengan teman-teman di Universitas yang
bonafit.
Awal perkuliahan begitu menyiksa
bagi saya. Terkadang saya absen karena ini tidak sesuai dengan kemauan saya.
Kuliah saya agak kacau. Tapi agak kaget juga, pas melihat IPK semester satu,
saya terkejut, ternyata nilainya adalah tiga koma sekian. Padahal saya
menyadari bahwa kuliah agak berantakan. Aneh, ya. Hehehe… saya kembali
konsultasi pada orang tua. Bagi saya ibu adalah motivator terhebat melebihi
Mario Teguh. Hoho.. pastinya. Saya mulai menyadari bahwa pengorbanannya
melebihi dengan apa yang saya lakukan. Karena kebetulan beliau adalah tulang
punggung keluarga, meskipun ayah juga bekerja. Saya merasa malu sebagai anak
sulung. Saya tak mau dianggap anak yang tidak member contoh bagi adik saya,
yang Alhamdulillah sekarang menjadi ketua OSIS.
Oh iya, perlu diketahui bahwa saya kuliah dibiayai oleh pihak
sekolah. Semua guru pengabdian dijamin pendidikannya oleh sekolah. Nah,
beberapa waktu kemudian saya sadar karena itu. Bagaimana tidak malu, ketika
kita menjalankan amanat dengan fasilitas enak. Kuliah gratis. Makan gratis.
Diberi uang jajan pula. Sekarang, saya sudah mulai menikmati peran sebagai
Guru. Murid saya sekarang sudah kelas 3 SMP. Mereka sudah berasa menjadi anak
sendiri. Rasanya kadang bersalah ketika saya khilaf dengan menelantarkan
mereka. Ada rasa bersalah ketika mereka melakukan kesalahan, mungkin karena
saya yang kurang membimbing. Semoga kedepannya saya mampu menjadi Wali Kelas
dan Ibu yang baik untuk murid-murid saya. Love y’all…
2 komentar:
eciye semangat yah ibu guru :P
hehe tengkyuu, Ka wahyu :D
Posting Komentar