Pages

Senin, 17 Desember 2012

Menjadi Guru Muda

            Ini tulisan pertama saya tentang pengalaman bagaimana menjadi seorang Guru Muda. Tak mudah menjalani amanah sebagai guru di usia muda, ketika mental masih labil, dan hasrat ingin bermain masih membuncah. Pertama kali saya diamanahi sebagai seorang guru, plus menjadi wali kelas satu SMP. Itu rasanya seperti tidak karuan, apalagi ditambah keinginan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bangku kuliah. Sebelumnya, saya adalah lulusan salah satu SMA yang kemudian diberi amanah oleh Kepala Sekolah untuk mengabdi bersama beberapa teman lainnya. Mungkin ada sekitar 15 orang yang terpanggil oleh Kepsek untuk menjalankan amanh ini. Tapi, empat teman saya kemudian mengundurkan diri, karena akan melanjutkan kuliah. Saya pun pernah berpikiran seperti itu, namun setelah berkonsultasi dengan orang tua, saya agak mulai menyadari bahwa amanat dari guru kita sendiri harus dijalankan, terlebih doa dari seorang guru begitu mustajab. Kemudian niat untuk mundur pun pudar, meskipun ada gejolak yang membuat saya selalu ingin keluar.
            Mulailah saya menjadi guru pada tahun 2010. Saya mulai menghadapi masalah-masalah dari para murid yang memang kebanyakan manja, terkadang saya pun stress. Ada perasaan bahwa saya tidak mampu menjalani aktivitas seperti ini. Mulai dari mengurus murid-murid yang nakal, manja, dsb. Lalu tiba-tiba kabar yang bagi saya itu adalah buruk datang. Perlu diketahui, asalnya masa pengabdian pada sekolah adalah satu tahun, namun ada pemberitahuan bahwa guru pengabdian harus menjalani kuliah yang otomatis membuat saya lebih lama mengabdikan diri, minimal selama 4 tahun, dan jurusan kuliah pun dipilih oleh sekolah. Disana saya makin stress, apalagi melihat teman-teman saya di luar yang bebas memilih jurusan mereka sendiri. Kebetulan saya menginginkan jurusan Sastra Inggris. Meskipun saya mengajar Bahasa Inggris, tapi saya memimpikan menjadi mahasiswa dengan teman-teman di Universitas yang bonafit.
            Awal perkuliahan begitu menyiksa bagi saya. Terkadang saya absen karena ini tidak sesuai dengan kemauan saya. Kuliah saya agak kacau. Tapi agak kaget juga, pas melihat IPK semester satu, saya terkejut, ternyata nilainya adalah tiga koma sekian. Padahal saya menyadari bahwa kuliah agak berantakan. Aneh, ya. Hehehe… saya kembali konsultasi pada orang tua. Bagi saya ibu adalah motivator terhebat melebihi Mario Teguh. Hoho.. pastinya. Saya mulai menyadari bahwa pengorbanannya melebihi dengan apa yang saya lakukan. Karena kebetulan beliau adalah tulang punggung keluarga, meskipun ayah juga bekerja. Saya merasa malu sebagai anak sulung. Saya tak mau dianggap anak yang tidak member contoh bagi adik saya, yang Alhamdulillah sekarang menjadi ketua OSIS.
Oh iya, perlu diketahui bahwa saya kuliah dibiayai oleh pihak sekolah. Semua guru pengabdian dijamin pendidikannya oleh sekolah. Nah, beberapa waktu kemudian saya sadar karena itu. Bagaimana tidak malu, ketika kita menjalankan amanat dengan fasilitas enak. Kuliah gratis. Makan gratis. Diberi uang jajan pula. Sekarang, saya sudah mulai menikmati peran sebagai Guru. Murid saya sekarang sudah kelas 3 SMP. Mereka sudah berasa menjadi anak sendiri. Rasanya kadang bersalah ketika saya khilaf dengan menelantarkan mereka. Ada rasa bersalah ketika mereka melakukan kesalahan, mungkin karena saya yang kurang membimbing. Semoga kedepannya saya mampu menjadi Wali Kelas dan Ibu yang baik untuk murid-murid saya. Love y’all…