Waktu SMA saya
pernah kehilangan satu sahabat. Dia teman saya waktu SMP. Teman sekelas, teman
sebangku, teman mengantuk di kelas, teman menyontek, teman berbagi segala apa
yang kami punya. Ayahnya begitu baik, saya pun sudah dekat dengan beliau. Kalau
menginap di rumahnya sudah tidak canggung.Ibunya ramah luar biasa, begitupun
Kakak perempuannya yang sudah menikah. Kemudian, ketika SMA kami berbeda
sekolah. Saya melanjutkan SMA di sekolah yang masih satu yayasan dengan SMP
saya, dan teman saya lebih memilih sekolah Vokasional.
Ada perasaan
berat ketika kami berbeda sekolah karena tak biasa berjauhan. Ketika SMP, kami
saling berbagi uang jajan, berbagi makanan kiriman orang tua masing-masing,
atau apapun yang kami punya. Kemudian saya baru menyadari sekarang, bahwa teman-teman
saya adalah keluarga bahkan lebih dari itu. Meskipun berbeda sekolah, kami
tetap komunikasi, saling mengunjungi satu sama lain, kami masih saling curhat
tentang cinta monyet. Iya, saya ingat dulu dia pernah bercerita tentang
seseorang yang dia kenal di sekolah barunya. Saya lupa-lupa ingat namanya, yang
pasti sosoknya sering diceritakan sahabat saya. Saya pun menceritaan seseorang
yang mulai masuk di kehidupan saya, begitu emosional. Lucu sekali kalau
diingat. Kenangan paling menggelikan. Lelaki pertama, tapi bukan cinta pertama
karena memang tidak begitu berkesan.
Sahabat saya
ini namanya Lia.
Sampai suatu
hari, saya bersama dua sahabat saya yang lain, Tiara dan Riga berencana berlibur,
atau sering kami sebut ‘ngabolang’ ke rumah teman saya yang berada di daerah
Kidul yang tempatnya agak jauh untuk dijangkau. Kami mengajak Lia untuk ikut
serta bersama kami. Tapi, sayangnya Lia sedang sakit. Kami sempat bergurau dan
meragukan apakah Lia benar-benar sakit, sampai kami bertanya “Ah, sakit apa
sih? Paling juga pusing. Ayo, ikut saja!” begitu isi sms yang kami kirimkan
pada Lia.
Dua hari kami
berlibur di tempat teman. Asik sekali, meskipun minus Lia, karena kami tahu
ternyata Kakak laki-laki teman kami ini punya hubungan dengan teman saya, Riga.
Kami pun pulang kembali ke rumah masing-masing. Tak disangka, ternyata Lia
belum sembuh dari sakitnya dan yang lebih mengejutkan ternyata Lia masuk Rumah
Sakit. Kami melihat Lia terbaring tidur di atas ranjang Rumah Sakit dengan
selang oksigen, tak bisa membuka mata, sekedar bicara pun sulit, tubuhnya
ringkih dan sangat lemah. Kami sempat menyesal mengapa punya sangkaan yang kami
bilang begitu usil. Lia benar-benar sakit. Dia divonis Meningitis. Ditambah jarang
makan nasi dan hobinya makan pedas yang berlebihan. Saya ingin marah, karena
ada sahabat saya yang lain sakit karena doyan makan pedas. Kenapa Lia tidak
belajar dari dia.
Sampai beberapa
hari kemudian, saya mendengar bahwa Lia meninggal. Rasanya tidak karuan. Entah kenapa
saya tidak ikut ke pemakaman. Entah terpukul atau apa. Yang pasti saya begitu
kehilangan, karena pertama kali kehilangan sahabat. Selamat jalan Lia, kami mendoakan dari
sini. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Sesunggungguhnya segala sesuatu akan
berpulang pada Rabb.
Cerita belum
usai. Lulus SMA, saya dan Riga melanjutkan kuliah di daerah kami sedangkan
sahabat saya yang lain, Tiara memutuskan mengambil pendidikan di Lampung karena
mendapat beasiswa disana. Kami kehilangan lagi, tapi kami sering menyempatkan
untuk bertemu. Entah itu untuk nonton atau makan-makan.
Menginjak tahun
ke-2 kuliah, Tiara pulang dari Lampung karena sakit. Bukan kepalang, Tiara
terkena Tumor di payudara. Saya tidak tahu apakah ini tumor jinak atau ganas. Yang
pasti penyakitnya terdeteksi sebagai radang awalnya. Segala macam pengobatan
dilakukan Tiara, mulai dari alternatif sampai medis. Kemana-mana Tiara berobat
tapi hasilnya tak memuaskan. Kemudian diambil keputusan, bahwa Tiara harus
dioperasi. Sayang, operasi tak berjalan mulus karena banyak darah yang keluar. Sampai
suatu hari, baru diketahui ternyata Tiara salah diagnosa. Tiara tidak mengidap
tumor di payudara sama sekali, ternyata Tiara mengidap kanker pembuluh darah. Teman-teman
marah dan agak geram mengingat kalau hal seperti ini mungkin bisa disebut
malpraktik. Tapi, keluarga Tiara tak membawa masalah ini ke ranah hukum. Saya begitu
ingat wajah ibunya yang ramah luar biasa begitu sabar menemani Tiara. Tapi,
sahabat saya ini perempuan kuat. Tak pernah terdengar dia mengeluh ketika kami
jenguk. Kami tertawa lepas sepanjang hari dan tak mau membahas penyakit yang
mungkin bisa merenggut masa depan. Sampai saat ini Tiara masih berjuang melawan
penyakitnya. Tiara kuat. Tiara tak boleh menyerah. Kamu punya sahabat yang
sayang dan siap kalau dibutuhkan. Insya Allah. We love ya, Tiara...